Skip to main content

MANJEMEN PESERTA DIDIK (RESUME)

MANAJEMEN PESERTA DIDIK
A.    Konsep Dasar Manajemen Peserta Didik
Manajemen peserta didik dapat diartikan sebagai usaha pengaturan terhadap peserta didik mulai dari peserta didik tersebut masuk sekolah sampai dengan mereka lulus sekolah. Yang diatur secara langsung adalah segi-segi yang berkenaan dengan peserta didik secara tidak langsung. Pengaturan terhadap segi-segi lain selain peserta didik dimaksudkan untuk memberikan layanan yang sebaik mungkin kepada peserta didik. Sementara itu, manajemen peserta didik adalah manajemen yang memberikan tekanan pada empat pilar manajemen berbasis sekolah, ialah: mutu, kemandirian, partisipasi masyarakat dan transparansi. Jadi, seluruh aktivitas manajemen peserta didik, haruslah diaksentuasikan pada penonjolan empat pilar manajemen berbasis sekolah tersebut.
B.     Perencanaan dan Penerimaan Peserta Didik
1.      Perencanaan Peserta Didik
Perencanaan peserta didik adalah suatu aktivitas memikirkan di muka tentang hal-hal yang harus dilakukan berkenaan dengan peserta didik di sekolah, baik sejak peserta didik akan memasuki sekolah, selama di sekolah, maupun mereka akan lulus dari sekolah. Yang direncanakan adalah hal-hal yang harus dikerjakan berkenaan dengan penerimaan peserta didik sampai dengan pelulusan peserta didik.
Langkah-Langkah Perencanaan Peserta Didik
a.       Perkiraan (forcasting), adalah menyusun suatu perkiraan. Hal ini ialah dimensi kelampauan kasar dengan mengantisipasi ke depan. Ada tiga dimensi waktu yang disertakan dalam, dimensi terkini, dan dimensi keamanan. Dimensi kelampauan berkenaan dengan pengalaman-pengalaman masa lampau penanganan peserta didik. Dimensi kekinian berkaitan erat dengan faktor kondisional dan situasional peserta didik di masa sekarang ini. Dimensi keakanan berkenaan dengan antisipasi ke depan peserta didik.
b.      Perumusan tujuan (objective).
Supaya tujuan dapat dicapai, umumnya tujuan tersebut dijabarkan ke dalam bentuk target-target. Oleh karena itu, tujuan lazimnya bersifat umum dan abstrak, tidak jelas kriteria tercapai tidaknya; sedangkan target dirumuskan secara jelas, dapat diukur pencapaiannya. Lazimnya perumusan target ini diawali dengan huruf awal ter. Misalnya saja, terlaksananya, terbacanya, tertulisnya, terealisasinya, dan sebagainya. Tujuan ini dapat dirumuskan secara berbeda-beda sesuai dengan sudut kepentingannya. Ada rumusan tujuan jangka panjang, kemudian dijabarkan ke dalam tujuan jangka menengah dan tujuan jangka pendek. Ada tujuan yang digolongkan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus. Ada juga rumusan tujuan final atau akhir yang dijabarkan ke dalam tujuan sementara.
Di antara penjabaran dan penggolongan yang dipakai, tentu berdasarkan faktor kondisional dan situasional peserta didik di sekolah tersebut. Demikian juga periodisasi pencapaiannya, dapat berupa tahunan, semesteran, periodisasi waktu yang pendek, haruslah dalam kerangka pencapaian tujuan dalam periodisasi waktu yang lebih panjang.
c.       Kebijakan (policy).
Yang dimaksud dengan kebijakan adalah mengidentifikasi aktivitas-aktivitas yang dapat dipergunakan untuk mencapai target atau tujuan di atas. Identifikasi kegiatan perlu dilakukan secermat mungkin agar dapat dipergunakan untuk mencapai targetnya. Pada policy ini, kegiatan yang dapat dipergunakan untuk mencapai target perlu diidentifikasi sebanyak mungkin; karena semakin banyak, akan semakin representatif dalam rangka mencapai target.
d.      Pemrograman (programming), adalah suatu aktivitas yang bermaksud memilih kegiatan-kegiatan yang sudah diidentifikasi dalam langkah kebijakan. Pemilihan demikian harus dilakukan, karena tidak semua kegiatan yang diidentifikasi tersebut nantinya dapat dilaksanakan. Dengan perkataan lain, penyusunan program berarti seleksi atas kegiatan-kegiatan yang sudah diidentifikasi dalam kebijakan.
e.       Menyusun langkah-langkah (procedure).
Yang dimaksud dengan procedure adalah merumuskan langkah-langkah. Ada tiga aktivitas dalam hal ini, ialah aktivitas pembuatan skala prioritas, aktivitas pengurutan dan aktivitas menyusun langkah-langkah kegiatan. Yang dimaksud dengan pembuatan skala prioritas adalah: menetapkan (dalam rumusan), maka yang patut dikemudiankan. Faktor-faktor yang harus dijadikan penentu dalam membuat skala prioritas ini adalah sebagai berikut:
1)      Seberapa jauh kegiatan tersebut memberikan kontribusi bagi pencapaian targetnya?
2)      Seberapa jauh kegiatan tersebut mendesak untuk dilaksanakan dilihat dari segi kebutuhan?
3)      Apakah kegiatan tersebut mengikuti periode waktu tertentu, misalnya saja periode bulan dan tanggal?
4)      Apakah dukungan tenaga, biaya, prasarana dan sarananya bagi kegiatan tersebut cocok dengan waktunya?
Pembuatan langkah-langkah ini perlu dilakukan, agar personalia sekolah dan atau tenaga kependidikan di sekolah tersebut, mengetahui apa yang harus dilakukan terlebih dahulu dan apa yang baru boleh dilakukan kemudian. Langkah-langkah demikian juga sekaligus membimbing mereka yang masih pemula, agar mereka tertuntun untuk melaksanakan kegiatan berdasarkan yang diskenariokan.
f.       Penjadwalan (schedule)
Kegiatan-kegiatan yang telah ditetapkan prioritasnya, urut-urutan dan langkah-langkahnya perlu dijadwalkan agar jelas siapa pelaksananya, dan dimana hal tersebut dilaksanakan. Dengan adanya jadwal ini semua personalia yang bertugas dan memberikan bantuan di bidang manajemen peserta didik akan tahu tugas dan tanggung jawabnya, serta kapan harus melaksanakan kegiatan tersebut
g.      Pembiayaan (budgeting).
Ada dua hal yang harus dilakukan dalam pembiayaan. Pertama, mengalokasikan biaya yaitu perincian mengenai biaya yang dibutuhkan dalam kegiatan-kegiatan yang sudah dijadwalkan. Kedua, menentukan sumber biaya.
2.      Penerimaan Peserta Didik
a.       Kebijakan Penerimaan Peserta Didik
Kebijakan operasional penerimaan peserta didik baru, memuat aturan mengenai jumlah peserta didik yang dapat diterima di suatu sekolah. Penentuan mengenai jumlah peserta didik, tentu juga didasarkan atas kenyataan-kenyataan yang ada di sekolah (faktor kondisional sekolah). Faktor kondisional tersebut meliputi: daya tampung kelas baru, kriteria mengenai siswa yang dapat diterima, anggaran yang tersedia, prasarana dan sarana yang ada, tenaga kependidikan yang tersedia, jumlah peserta didik yang tinggal di kelas satu, dan sebagainya.
Kebijakan operasional penerimaan peserta didik, juga memuat sistem pendaftaran dan seleksi atau penyaringan yang akan diberlakukan untuk peserta didik. Selain itu, kebijakan penerimaan peserta didik, juga berisi mengenai waktu pendaftaran, kapan dimulai dan kapan diakhiri. Selanjutnya, kebijakan penerimaan peserta didik harus juga memuat tentang personalia-personalia yang akan terlibat dalam pendaftaran, seleksi dan penerimaan peserta didik.
Kebijaksanaan penerimaan peserta didik ini dibuat berdasarkan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Petunjuk demikian harus dipedomani, karena ia memang dibuat dalam rangka mendapatkan calon peserta didik sebagaimana yang diinginkan atau diidealkan.
b.      Sistem Penerimaan Peserta Didik
Sistem penerimaan peserta didik adalah cara penerimaan peserta didik baru. Ada dua macam sistem penerimaan peserta didik baru, yaitu sistem promosi dan  sistem seleksi. Sistem promosi adalah penerimaan peserta didik, yang sebelumnya tanpa menggunakan seleksi. Mereka yang mendaftar sebagai peserta didik di suatu sekolah, diterima semua begitu saja. Sehingga mereka yang mendaftar menjadi peserta didik, tidak ada yang ditolak.
Kedua sistem seleksi, ini dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu seleksi berdasarkan daftar nilai ujian nasional, berdasarkan penelusuran minat dan kemampuan (PMDK), dan seleksi berdasarkan hasil tes masuk.
3.      Kriteria Penerimaan Peserta Didik Baru
Yang dimaksud dengan kriteria adalah patokan-patokan yang menentukan bisa tidaknya seseorang untuk diterima sebagai peserta didik atau tidak. Ada dua macam kriteria penerimaan peserta didik. Pertama, adalah kriteria acuan patokan (standard criterian referenced), yaitu suatu penerimaan peserta didik yang didasarkan atas patokan-patokan yang telah ditentukan sebelumnya. Kedua, kriteria acuan norma (norm criterian referenced), yaitu suatu penerimaan calon peserta didik yang didasarkan atas keseluruhan prestasi calon peserta didik yang mengikuti seleksi.
4.      Prosedur Penerimaan Peserta Didik Baru
Penerimaan peserta didik termasuk salah satu aktivitas penting dalam manajemen peserta didik. Sebab aktivitas penerimaan ini menentukan seberapa kualitas input yang dapat direkrut oleh sekolah tersebut. Adapun prosedur penerimaan peserta didik baru adalah pembentukan panitia penerimaan peserta didik baru, rapat penentuan peserta didik baru, pembuatan, pemasangan atau pengiriman pengumuman, pendaftaran peserta didik baru, seleksi, penentuan peserta didik yang diterima, pengumuman peserta didik yang diterima dan registrasi peserta didik yang diterima.
5.      Problema Penerimaan Peserta Didik Baru
Ada banyak problem penerimaan peserta didik baru yang harus dipecahkan. Pertama, adanya peserta didik yang hasil nilai tesnya, jumlah danem dan kecakapannya sama, dan mereka sama-sama berada pada batas bawah penerimaan. Guna menentukan peserta didik mana yang diterima, hal demikian tidaklah mudah. Kedua, adanya calon peserta didik yang dari segi kemampuan masih kalah dibandingkan dengan yang lainnya, sementara yang bersangkutan mendapatkan nota dari pejabat tertentu yang mempunyai kekuasaan tinggi di daerah di mana sekolah tersebut berada. Ketiga, terbatasnya daya tampung dan prasarana sarana sekolah, sementara di daerah tersebut sangat banyak calon peserta didik yang mempunyai kecakapan tinggi.
C.    Orientasi Peserta Didik
1.      Alasan dan Batasan Orientasi Peserta Didik
Alasan dilakukannya orientasi peserta didik karena lingkungan sekolah peserta didik yang lama telah ditinggalkan dan mereka berganti dengan lingkungan sekolah yang baru, dengan penghuni dan budaya baru. Dengan orientasi tersebut, peserta didik akan siap menghadapi lingkungan dan budaya baru di sekolah, yang dapat saja berbeda jauh dengan sebelumnya.
Yang dimaksud dengan orientasi adalah perkenalan. Perkenalan ini meliputi lingkungan fisik sekolah dan lingkungan sosial sekolah. Lingkungan fisik sekolah meliputi prasarana dan sarana sekolah seperti jalan menuju sekolah, halaman sekolah, tempat bermain di sekolah, lapangan olah raga, gedung dan perlengkapan sekolah, serta fasilitas-fasilitas lain yang disediakan di sekolah. Sedangkan lingkungan sosial sekolah meliputi: kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan selain guru, teman sebaya seangkatan, dan peserta didik senior di sekolah. Lingkungan sosial sekolah tersebut adakalanya terorganisir dan adakalanya tidak terorganisir.
2.      Tujuan dan Fungsi Orientasi Peserta Didik
Tujuan orientasi peserta didik baru adalah sebagai berikut:
a.       Agar peserta didik mengenal lebih dekat mengenai diri mereka sendiri di tengah-tengah lingkungan barunya.
b.      Agar peserta didik mengenal lingkungan sekolah, baik lingkungan fisiknya maupun lingkungan sosialnya.
c.       Pengenalan lingkungan sekolah demikian sangat penting bagi peserta didik dalam hubungannya dengan:
1)      Pemanfaatan semaksimal mungkin terhadap layanan yang dapat diberikan oleh sekolah.
2)      Sosialisasi diri dan pengembangan diri secara optimal.
3)      Menyiapkan peserta didik secara fisik, mental dan emosional agar siap menghadapi lingkungan baru sekolah.

Adapun fungsi orientasi peserta didik adalah sebagai berikut:
a.       Bagi peserta didik sendiri, orientasi peserta didik berfungsi sebagai:
1)      Wahana untuk menyatakan dirinya dalam konteks keseluruhan lingkungan sosialnya. Di wahana ini peserta didik dapat menunjukkan: inilah saya kepada teman sebayanya.
2)      Wahana untuk mengenal siapa lingkungan barunya, sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menentukan sikap.
b.      Bagi personalia sekolah dan atau tenaga kependidikan, dengan mengetahui siapa peserta didik barunya, akan dapat dijadikan sebagai titik tolak dalam memberikan layanan-layanan yang mereka butuhkan.
c.       Bagi para peserta didik senior, dengan adanya orientasi ini, akan mengetahui lebih dalam mengenai peserta didik penerusnya di sekolah tersebut. Hal ini sangat penting terutama berkaitan dengan kepemimpinan estafet organisasi peserta didik di sekolah tersebut.
D.    Pengaturan Kehadiran Peserta Didik
1.      Batasan Kehadiran dan Ketidakhadiran
Kehadiran peserta didik di sekolah (school attandence) adalah kehadiran dan keikutsertaan peserta didik secara fisik dan mental terhadap aktivitas sekolah pada jam-jam efektif di sekolah. Sedangkan ketidakhadiran adalah ketiadaan partisipasi secara fisik peserta didik terhadap kegiatan-kegiatan sekolah.
2.      Sebab-Sebab Ketidakhadiran Peserta Didik
Ada banyak sumber penyebab ketidakhadiran peserta didik di sekolah. Pertama, ketidakhadiran yang bersumber dari lingkungan keluarga. Pemecahan atas ketidakhadiran peserta didik yang bersumber dari keluarga lebih ditujukan pada langkah-langkah kuratif bagi kehidupan keluarga. Kedua, ketidakhadiran yang bersumber dari peserta didik itu sendiri. Hal demikian bisa terjadi, terutama pada peserta didik yang berjiwa labil serta kurang mendapatkan pengawasan dari orang tua atau keluarga. Ketiga, ketidakhadiran yang bersumber dari sekolah. Keempat, ketidakhadiran yang bersumber dari masyarakat.
3.      Pendekatan Peningkatan Kehadiran Peserta Didik
Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kehadiran peserta didik di sekolah adalah dengan melihat kasus per kasus. Sebab, antara peserta didik satu dengan peserta didik yang lain, mempunyai masalah-masalah yang berbeda. Upaya secara massal untuk meningkatkan peserta didik dapat dilakukan dengan memperhatikan sumber-sumber penyebab ketidakhadiran peserta didik di sekolah seperti: perbaikan lingkungan rumah, perbaikan lingkungan sekolah, perbaikan diri peserta didik sendiri, dan perbaikan lingkungan masyarakat.


E.     Mengatur Peserta Didik yang Mutasi dan Drop Out
1.      Mutasi Peserta Didik
Mutasi peserta didik dibedakan menjadi dua, yaitu:
a.       Mutasi intern adalah mutasi yang dilakukan oleh peserta didik di dalam sekolahan itu sendiri. Umumnya, peserta didik demikian hanyalah pindah kelas saja, dalam suatu kelas yang tingkatannya sejajar. Mutasi intern ini, dilakukan oleh peserta didik yang sama jurusannya, atau yang berbeda jurusannya.
b.      Mutasi ekstern adalah perpindahan peserta didik dari satu sekolah ke sekolah lain dalam satu jenis, dan dalam satu tingkatan.
Penyebab peserta didik mutasi
Adapun faktor penyebab tersebut, dapat bersumber dari peserta didik sendiri, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan teman sebaya.
2.      Peserta Didik yang Drop Out
Drop out adalah keluar dari sekolah sebelum waktunya, atau sebelum lulus. Ada banyak sebab mengapa peserta didik drop out dan tidak menyelesaikan pendidikannya, seperti:
a.       Rendahnya kemampuan yang dimiliki ini
b.      Karena tidak ada biaya untuk sekolah
c.       Karena sakit yang tidak tahu kapan sembuhnya
d.      Karena bekerja
e.       Harus membantu orang
f.       Karena didrop out oleh sekolah
g.      Karena peserta didik itu sendiri yang ingin drop out dan tidak mau sekolah
h.      Terkena kasus pidana dengan kekuatan hukum yang sudah pasti
i.        Karena sekolah dianggap tidak menarik bagi peserta didik
F.     Pengaturan Kode Etik dan Pengadilan Peserta Didik
1.      Kode Etik Peserta Didik
Kode etik, yang merupakan terjemahan dari ethical code, adalah norma-norma yang mengatur tingkah laku seseorang yang berada dalam lingkungan kehidupan tertentu. Kode etik peserta didik adalah aturan-aturan, norma-norma yang dikenakan kepada peserta didik, berisi sesuatu yang menyatakan boleh tidak boleh, benar tidak benar, layak tidak layak, dengan maksud agar ditaati oleh peserta didik. Aturan-aturan tersebut, bisa berupa yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk di dalamnya adalah tradisi-tradisi yang lazim ditaati di dunia pendidikan, khususnya sekolah.
Tujuan kode etik peserta didik adalah:
a.       Agar terdapat suatu standar tingkah laku tertentu yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi peserta didik di sekolah tertentu
b.      Agar terdapat kesamaan bahasa dan gerak langkah antara sekolah dengan orang tua peserta didik serta masyarakat, dalam hal menangani peserta didik
c.       Agar dapat menjunjung tinggi citra peserta didik di mata masyarakat
d.      Agar tercipta suatu aturan yang dapat ditaati bersama, khususnya peserta didik, dan demikian juga oleh personalia sekolah yang lain.
Adapun isi yang terkandung di dalam kode etik tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Pertimbangan dan atau rasionalitas mengapa kode etik tersebut ditetapkan dan harus ditaati
b.      Standar tingkah laku peserta didik yang layak ditampilkan, baik ketika berada di sekolah, di lingkungan keluarga maupun di masyarakat
c.       Kapan peserta didik harus sudah berada di sekolah, dan kapan juga peserta didik harus sudah berada di rumah kembali
d.      Pakaian yang bagaimanakah yang layak dipakai oleh peserta didik terutama di lingkungan sekolah
e.       Apa saja yang wajib dilakukan oleh peserta didik berkaitan dengan lembaga pendidikan atau sekolahnya
f.       Bagaimanakah hubungan antara peserta didik dengan guru, kepala sekolah, personalia yang lain, dengan teman sebaya (senior dan yuniornya), orang tua, masyarakat pada umum bahkan tamu yang sedang berkunjung ke sekolah
g.      Apa yang dilakukan oleh peserta didik ketika ada di antara temannya ada yang merasa kesusahan.


2.      Pengadilan Peserta Didik
Pengadilan peserta didik atau yang lazim dikenal dengan sebutan student court’s, adalah suatu lembaga pengadilan yang ada di sekolah, dan bertugas mengadili peserta didik. Peserta didik yang diduga mempunyai kesalahan-kesalahan tidak divonis begitu saja, melainkan dihadapkan ke pengadilan dan diadakan persidangan.
3.      Pengaturan Hukuman Peserta Didik
Hukuman adalah suatu sangsi yang diterima oleh seseorang sebagai akibat dari pelanggaran atau aturan-aturan yang telah ditetapkan. Sanksi demikian, dapat berupa material dan dapat pula berupa non material. Tujuan hukuman adalah sebagai alat pendidikan dimana hukuman yang diberikan justru harus dapat mendidik dan menyadarkan peserta didik.
Langeveld (1955) memberikan pedoman hukuman sebagai berikut:
a.       Punitur, qunnia no peccatum, yang artinya: dihukum karena peserta didik memang bersalah.
b.      Punitur no peccatum, yang artinya: dihukum agar peserta didik lagi berbuat kesalahan.
Ada beberapa macam hukuman, yaitu hukuman badan, penahanan di kelas dan menghilangkan privalage, denda dan sanksi tertentu. Hukuman badan misalnya adalah memukul, menjewer, mencubit, menyepak, menendang dan sebagainya. Hukuman demikian sebaiknya tidak dipergunakan, karena terbukti tidak efektif untuk mengubah perilaku peserta didik.
Penahanan di kelas adalah jenis hukuman yang diberikan kepada peserta didik karena peserta didik melakukan kesalahan-kesalahan. Penahanan di kelas demikian, mungkin juga efektif manakala dikaitkan dengan beban pekerjaan yang bersifat mendidik kepada peserta didik. Misalnya, yang bersangkutan harus mengerjakan soal-soal tertentu, dan yang bersangkutan esoknya diharuskan menyapu kelas, mengepel kelas, dan sebagainya.
Yang dimaksud dengan menghilangkan privalage adalah pencabutan hak-hak istimewa yang ada pada diri peserta didik. Ini perlu dilakukan agar yang bersangkutan mengetahui bahwa kesalahan memang tidak boleh diperbuat apalagi diulang-ulang. Misalnya saja, peserta didik tidak diperkenankan mengikuti pelajaran untuk beberapa saat, tidak mendapatkan rezeki kelas dan sebagainya.
Hukuman denda juga boleh dikenakan kepada peserta didik, sepanjang hal tersebut tetap dalam batas/kemampuan peserta didik. Hanya saja, uang denda tersebut harus masuk ke kas sekolah. Dengan adanya denda demikian, diharapkan peserta didik tidak terus melanggar aturan. Pembayaran denda demikian haruslah disertai dengan tanda terima atau kuitansi.
Sanksi-sanksi lain sebagai perwujudan dari hukuman yang dapat diberikan adalah skors untuk beberapa hari bagi peserta didik yang terbukti melanggar. Sanksi demikian hendaknya diberikan jika memang yang bersangkutan layak diberi sanksi, dan mungkin sebelumnya sudah mendapat peringatan secara ringan dan keras, lisan dan tertulis. Tanpa didahului oleh peringatan demikian, penghukuman skorsing yang secara tiba-tiba akan menjadikan penyebab peserta didik terkejut. Terkecuali jika pelanggaran yang dilakukan oleh peserta didik tersebut memang fatal.
Selain itu, ada hukuman lain, misalnya saja menatap tajam siswa, memberikan teguran-teguran dengan tembusan ke orang tua atau wali, penyampaian tidak puas secara lisan atau tertulis.
G.    Pengaturan Pengelompokan Peserta Didik
1.      Urgensi Pengelompokan
Alasan pengelompokan peserta didik juga didasarkan atas realitas bahwa peserta didik secara terus-menerus bertumbuh dan berkembang. Pertumbuhan dan perkembangan peserta didik satu dengan yang lain berbeda. Agar perkembangan peserta didik yang cepat tidak mengganggu peserta didik yang lambat dan sebaliknya (peserta didik yang lambat tidak mengganggu yang cepat), maka dilakukanlah pengelompokan peserta didik
2.      Makna Pengelompokan
Pengelompokan atau grouping adalah pengelompokan peserta didik berdasarkan karakteristik-karakteristiknya. Karakteristik demikian perlu digolongkan, agar mereka berada dalam kondisi yang sama. Adanya kondisi yang sama ini bisa memudahkan pemberian layanan yang sama. Oleh karena itu, pengelompokan (grouping) ini lazim dengan istilah pengklasifikasian (clasification).
Pengelompokan bukan dimaksudkan untuk mengkotak-kotakkan peserta didik, melainkan justru bermaksud membantu mereka agar dapat berkembang seoptimal mungkin. Jika maksud pengelompokan demikian malah tidak tercapai, maka peserta didik justru tidak perlu dikelompokkan atau digolong-golongkan.
Dengan adanya pengelompokan peserta didik juga akan mudah dikenali. Sebab, tidak jarang, peserta didik di dalam kelas, berada dalam keadaan heterogen dan bukannya homogen. Tentu, heterogenitas demikian, seberapa dapat diketahui tingkatannya sangat bergantung kemampuan diskriminan alat ukur yang digunakan untuk membedakan. Semakin tinggi tingkat kemampuan membedakan alat ukur yang dipergunakan, semakin tinggi pula tingkat heterogenitas peserta didik yang ada di sekolah.
3.      Jenis-Jenis Pengelompokan Peserta Didik
Ada banyak jenis pengelompokan peserta didik yang dikemukakan oleh para ahli. Mitchun (1960) mengemukakan dua jenis pengelompokan peserta didik. Yang pertama, ia namai dengan ability grouping, sedangkan yang kedua ia namai dengan sub-grouping with in the class. Yang dimaksud ability grouping adalah pengelompokan berdasarkan kemampuan di dalam setting sekolah. Sedangkan sub- grouping with in the class adalah pengelompokan dalam setting kelas.
Pengelompokan yang didasarkan atas kemampuan adalah suatu pengelompokan di mana peserta didik yang pandai dikumpulkan dengan yang pandai, yang kurang pandai dikumpulkan dengan yang kurang pandai. Sementara pengelompokan dalam setting kelas adalah suatu pengelompokan di mana peserta didik pada masing-masing kelas, dibagi lagi menjadi beberapa kelompok kecil. Pengelompokan ini juga memberi kesempatan kepada masing-masing individu untuk masuk ke dalam lebih dari satu kelompok.
Adapun kelompok-kelompok kecil pada masing-masing kelas demikian dapat dibentuk berdasarkan karakteristik individu. Ada beberapa macam kelompok kecil di dalam kelas ini, yaitu: interest grouping, special-need grouping, team grouping, tutorial grouping, research grouping, full-class grouping, combined- class grouping, SD Tanpa Tingkat (The Non Grade Elementary School), Pengelompokan Kelas Rangkap (Multigrade and Multi-Age Grouping), Pengelompokan Kemajuan Rangkap (The Dual Progress Plan Grouping), Penempatan Sekelompok Siswa pada Seorang Guru (Self-contained Classroom), Pembelajaran Beregu (Team Teaching), Departementalisasi, Pengelompokan Berdasarkan Kemampuan (Ability Grouping),
H.    Sistem Tingkat dan Sistem Tanpa Tingkat
1.      Alasan dan Batasan Sistem Tingkat
Alasan diterapkan sistem tingkat ini, selain asumsi kesamaan, adalah efisiensi pendidikan di sekolah tersebut. Jika para peserta didik berada dalam keadaan sama, dan dapat dilayani secara bersama-sama, tidak efisien dari segi tenaga dan biayanya, jika dilayani secara individual. Oleh karena itu, layanan secara sama dengan menggunakan sistem tingkat tersebut, dianggap lebih efisien dan lebih baik. Pemborosan di bidang biaya dan tenaga dalam hal ini dapat ditekan.
Sistem tingkat adalah suatu bentuk penghargaan kepada peserta didik setelah memenuhi kriteria dan waktu tertentu dalam bentuk kenaikan satu tingkat ke jenjang yang lebih tinggi. Kriteria mengacu kepada prestasi akademik dan prestasi lainnya, sedangkan waktu mengacu kepada lama peserta didik berada di tingkat tersebut. Misalnya saja, jika peserta didik yang berada di kelas satu sudah memenuhi persyaratan baik dari segi waktu maupun kemampuan untuk naik ke tingkat berikutnya, maka ia dinaikkan.
Kenaikan tingkat dikenal juga dengan istilah promosi (promotion). Promosi sendiri terdiri dari: promosi seratus persen, annual promotion, trial promotion, semi annual promotion, special promotion, double promotion, subject promotion.
Kelebihan-kelebihan sistem tingkat adalah sebagai berikut:
a.       Dapat dijadikan sebagai alat untuk merekayasa belajar peserta didik. Sebab, imbalan belajar yang berupa kenaikkan tingkat ini bisa memacu peserta didik untuk belajar lebih giat lagi.
b.      Efisien, karena sistem tingkat menggunakan sistem pembelajaran klasikal.
c.       Rasa sosial peserta didik tetap tinggi, karena mereka sama-sama mendapatkan materi pembelajaran yang sama di tingkatnya.
d.      Pengadministrasiannya mudah, karena mereka berada dalam satu tingkat, mengambil program pendidikan yang sama.
Adapun kekurangan sistem tingkat ini adalah sebagai berikut:
a.       Peserta didik yang tidak naik tingkat akan menghadapi persoalan-persoalan akademik dan psikologis.
b.      Peserta didik yang pandai tidak sabar menunggu peserta didik lain yang ke-mampuannya lebih rendah. Sementara peserta didik yang kemampuannya sangat rendah merasa dipaksakan untuk mengikuti peserta didik yang kemampuannya lebih tinggi.
c.       Kurang adanya kompetisi di antara peserta didik, sehingga tidak begitu baik dalam rangka menimbulkan semangat kompetisi di antara peserta didik.
d.      Hanya menguntungkan perkembangan peserta didik yang menengah, karena merekalah yang menjadi ukuran pelaksanaan proses belajar mengajar.
2.      Sistem Tanpa Tingkat
Sistem tanpa tingkat adalah anti tesa dari sistem tingkat. Ia muncul didasari oleh rasa ketidakpuasan dengan adanya sistem tingkat. Sistem ini dikembangkan didasari oleh pandangan psikologis, bahwa meskipun peserta didik berada dalam kondisi sama, tetapi dalam realitasnya tidak ada yang persis sama. Selalu ada perbedaan di antara peserta didik satu dengan peserta didik lainnya. Oleh karena itu, sistem tanpa tingkat ini umumnya menggunakan pembelajaran yang lebih individual.
Pada sistem tanpa tingkat ini, sekelompok peserta didik yang memprogram mata pelajaran sama, dikelompokkan ke dalam satu tempat yang sama dan diajar oleh guru yang sama, meskipun mungkin peserta didik tersebut berasal dari angkatan tahun yang berbeda. Bahkan dalam kondisinya yang ekstrim, peserta didik dipersilakan mengambil paket program yang tersedia sesuai dengan kemampuan dan kesempatan mereka masing-masing tanpa terpengaruh oleh teman-temannya. Dengan demikian, ada peserta didik yang dapat menyelesaikan program sangat cepat, lambat, dan bahkan ada yang sangat lambat.
Jika peserta didik telah dapat menyelesaikan program yang telah ditawarkan, maka yang bersangkutan dianggap lulus dari program tersebut. Sebaliknya jika yang bersangkutan belum dapat menyelesaikan program, maka belum dapat lulus. Keberhasilan penyelesaian program tidak dilihat secara menyeluruh, melainkan dilihat per mata pelajaran. Berarti, jika suatu mata pelajaran yang belum berhasil dikuasai, ia harus mengulang pada satu mata pelajaran itu, dan tidak mengulang banyak mata pelajaran sebagaimana dalam sistem tingkat.
Kelebihan dan Kekurangan Sistem Tanpa Tingkat
Adapun kelebihan sistem tanpa tingkat ini adalah sebagai berikut:
a.       Peserta didik dapat berkembang seoptimal mungkin menurut irama perkembangannya sendiri, tanpa terhambat oleh peserta didik lainnya.
b.      Peserta didik dapat mengambil paket program sesuai dengan minat dan kesempatan. Hal demikian sangat sesuai dengan kebutuhan psikologis peserta didik.
c.       Peserta didik yang pandai akan lebih cepat menyelesaikan program sehingga lebih cepat pula melanjutkan studi. Sebaliknya peserta didik yang tergolong lambat, tidak merasa dipaksa-paksa mengikuti peserta didik yang cepat.
d.      Melatih kemandirian peserta didik, karena sejak dini peserta didik sudah dilatih menentukan keputusan sendiri di dalam mengambil paket-paket program.
Adapun kekurangan-kekurangan sistem tanpa tingkat ini adalah sebagai berikut:
a.       Peserta didik sejak dini banyak memacu prestasi secara individual. Hal demikian menjadikan penyebab rasa sosialnya kurang. Sistem demikian secara umum berbenturan dengan sosio budaya negara berkembang yang masyarakatnya banyak menjunjung tinggi nilai-nilai sosial.
b.      Oleh karena peserta didik diharuskan mengambil keputusan secara mandiri mengenai paket program yang akan diambil, maka ia perlu tenaga staf tambahan yang berupa penasihat akademik. Penasihat akademik inilah yang harus mendampingi dan turut membantu peserta didik agar yang bersangkutan dapat mengambil program–program pendidikan secara benar. Sebab dalam realitasnya, ada mata pelajaran mata pelajaran prasyarat yang harus dikuasai dahulu sebelum mengambil mata pelajaran lainnya atau berikutnya.
c.       Sangat sulit pengadministrasiannya, karena segalanya bergantung peserta didik yang mengambil paket program. Bisa terjadi, suatu paket program yang ditawarkan tidak ada peserta didik yang memprogram, dan bisa jadi sebaliknya terlalu banyak. Ini juga bisa menyulitkan dalam pengaturan prasarana, sarana, waktu dan tenaga.
I.       Evaluasi Hasil Belajar Peserta Didik, Kenaikan Kelas Dan Penjurusan
1.      Evaluasi Hasil Belajar Peserta Didik
Penilaian adalah suatu proses untuk mengambil keputusan dengan menggunakan informasi yang diperoleh melalui pengukuran hasil belajar baik yang menggunakan tes maupun nontes. Khusus terkait dengan pembelajaran, evaluasi dilaksanakan dengan tujuan:
a.       Mendeskripsikan kemampuan belajar siswa.
b.      Mengetahui tingkat keberhasilan PBM
c.       Menentukan tindak lanjut hasil penilaian
d.      Memberikan pertanggung jawaban (accountability)
Sejalan dengan tujuan evaluasi di atas, evaluasi yang dilakukan juga memiliki banyak fungsi, diantaranya adalah fungsi: 1. Selektif, 2. Diagnostik, 3. Penempatan, 4. Pengukur keberhasilan. Dengan manfaat yang dapat diambil dari kegiatan evaluasi dalam pembelajaran secara umum, yaitu :1. Untuk memahami, 2. Membuat keputusan, dan 3. Meningkatkan kualitas.
Evaluasi terdiri dari beberapa macam, yaitu:
a.       Evaluasi Formatif, adalah evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir pembahasan suatu pokok bahasan / topik, dan dimaksudkan untuk mengetahui sejauh manakah suatu proses pembelajaran telah berjalan sebagaimana yang direncanakan.
b.      Evaluasi Sumatif, adalah evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir satu satuan waktu yang di dalamnya tercakup lebih dari satu pokok bahasan, dan dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana peserta didik telah dapat berpindah dari suatu unit ke unit berikutnya.
c.       Evaluasi Diagnostik, adalah evaluasi yang digunakan untuk mengetahui kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahan yang ada pada siswa sehingga dapat diberikan perlakuan yang tepat. Evaluasi diagnostik dapat dilakukan dalam beberapa tahapan, baik pada tahap awal, selama proses, maupun akhir pembelajaran. Pada tahap awal dilakukan terhadap calon siswa sebagai input. Pada tahap proses evaluasi ini diperlukan untuk mengetahui bahan-bahan pelajaran mana yang masih belum dikuasai dengan baik, sehingga guru dapat memberi bantuan secara dini agar siswa tidak tertinggal terlalu jauh. Sementara pada tahap akhir evaluasi diagnostik ini untuk mengetahui tingkat penguasaan siswa atas seluruh materi yang telah dipelajarinya.
Prinsip-prinsip evaluasi
Terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam melaksanakan evaluasi, agar mendapat informasi yang akurat, diantaranya:
a.       Dirancang secara jelas abilitas yang harus dinilai, materi penilaian, alat penilaian, dan interpretasi hasil penilaian.
b.      Penilaian hasil belajar menjadi bagian integral dalam proses belajar mengajar.
c.       Agar hasil penilaian obyektif, gunakan berbagai alat penilaian dan sifatnya komprehensif.
d.      Hasilnya hendaknya diikuti tindak lanjut.
2.      Kenaikan Kelas
Peserta didik dinyatakan NAIK KELAS, Jika :
a.       Telah menyelesaikan seluruh program pembelajaran semester ganjil dan genap secara lengkap dan tuntas sesuai kriteria
b.      Memperoleh nilai minimal baik untuk seluruh mata pelajaran kelompok kewarganegaraan, pendidikan agama dan akhlak mulia
c.       Memiliki kehadiran dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar 80% dari jumlah jam tatap muka setiap mata pelajaran
d.      Telah mencapai ketuntasan belajar sesuai dengan kriteria ketuntasan minimal


3.      Penjurusan
Kriteria penjurusan program meliputi:
a.       Nilai akademik
Peserta didik yang naik kelas XI dan akan mengambil program studi tertentu yaitu, Ilmu Alam atau Ilmu Sosial: boleh memiliki nilai yang tidak kompeten paling banyak 3 (tiga) mata pelajaran pada mata pelajaran-mata pelajaran yang bukan menjadi ciri khas program studi tersebut (lihat Struktur Kurikulum). Penjurusan peserta didik yang memasuki Program Ilmu Alam adalah peserta didik yang memiliki nilai mata pelajaran program Ilmu Alam (fisika, biologi, kimia, matematika) ditambah bahasa Inggris memiliki rata-rata 65
b.      Minat peserta didik
Untuk mengetahui minat peserta didik dapat dilakukan melalui angket/kuesioner dan wawancara yang dilakukan oleh guru BK dan wali kelas, atau cara lain yang dapat digunakan untuk mendeteksi minat, dan bakat.
c.       Batas waktu untuk pindah program studi paling lambat 1 (satu) bulan dengan memperhatikan poin a dan b di atas.

Comments

Popular posts from this blog

KONSEP DASAR EVALUASI PROGRAM SUPERVISI PENDIDIKAN

Supervisi pendidikan (supervisi akademik) adalah bantuan atau pelayanan kepada guru-guru agar pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dapat berjalan lebih baik dan berkualitas. Fungsi dasar supervisi meningkatkan atau memperbaiki situasi belajar bagi murid, demikian pendapat tokoh dibidang supervisi pendidikan Kimbal Wiles, (1967) sementara itu H.P Adams dan Frank G. Dicky dalam bukunya yang berjudul”Basic principles of Supervision”menjelaskan secara eksplisit bahwa”Supervisi merupakan program berencana untuk memperbaiki pengajaran”. Jelaslah sekarang bahwa supervisi merupakan aktivitas yang terprogram, berencana, dan berlangsung kontinyu.  Oleh  sebab  itu  akvitas  supervisi  pendidikan  harus dievaluasi, sebab supervisi pendidikan beraktivitas secara terprogram, evaluasi program supervisi pendidikan tersebut harus dilaksanakan secara kontinyu terprogram dan mengunakan prinsip komperhensip, obyektif, operatif dan kontinyu. A.      Pengertian Evaluasi Program Supervisi Pen

Tata Persuratan dan kearsipan

Kearsipan berperan penting dalam administrasi yang mempunyai kegunaan yaitu sebagai pusat dan ingatan dan sumber informasi dalam rangka melakukan kegiatan perencanaan, penganalisaan, perumusan kebijaksanaan, pengambilan keputusan, pembuatan laporan, penilaian, pengendalian dan pertanggung jawaban dengan setepat-tepatnya. Selain itu, kearsipan meliputi kegiatan penerimaan, pencatatan, pengiriman, penyimpanan, pemusnahan, serta pemeliharaan naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh suatu perusahaan atau organisasi. Meskipun kearsipan berperan penting dalam administrasi, ironisnya pada zaman modern ini masih banyak kantor-kantor pemerintahan maupun swasta yang belum melakukan penataan dengan baik. Masih banyak dijumpai arsip-arsip yang hanya ditumpuk di dalam gudang, sehingga cepat rusak, dan sulit ditemukan kembali apabila diperlukan lagi. Oleh karena itu, agar tidak terjadi hal-hal demikian maka perlu adanya petugas-petugas arsip yang menjaga atau bekerja di bidang keta

Skripsi Hubungan Pemanfaatan Pendekatan Pengelolaan Kelas dengan Proses Belajar Mengajar

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Bab I pasal 1 telah dinyatakan bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, kepandaian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.” (UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003). Berangkat dari pernyataan Undang-Undang Sisdiknas tersebut di atas, maka guru sebagai pengelola dalam kelas dituntut agar mampu menciptakan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya. Ini sesuai dengan pendapat ahli yang mengatakan bahwa “pengelolaan kelas   merupakan keterampilan guru untuk menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif dan mengendalikannya jika terjadi gangguan dalam pembelajaran” (Mulyasa dal